Diskusi terkait Hak Kekayaan Intelektual

Alifia Qonita Sudharto
120px-Symbol_merge_discussion.svg.png

Hari ini, 30 November 2011, SatuDunia mengadakan Diskusi Lingkar Belajar Telematika “Kapitalisme 2.0, (Intellectual) Property Right di Telematika”. Diskusi ini membahas mengenai bagaimana peran negara dalam mengatur permasalahan terkait bidang telematika, siapa saja pihak yang terkait di dalamnya baik secara moral maupun materil, serta apa yang diinginkan atau dapat ditawarkan kepada publik.

Diskusi ini diadakan di Kantor Komisi Hak Asasi Manusia (KOMNASHAM) dengan tiga narasumber, yaitu Lutfiah Hanim (Aktivis Third World Network), Rudi RusdiahMasyarakat Telekomunikasi (MASTEL), dan Onno W. Purbo (Pakar Telematika). Ketiganya setuju bahwa dalam konsep kapitalisme, seseorang diperbolehkan untuk mengeksploitasi hak kekayaan yang ia miliki sebesar-besarnya untuk memperkaya diri sendiri. Walau dalam konsep kapitalisme, negara tidak seharusnya ikut campur dalam usaha rakyat menambah kesejahteraan, namun Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 menyatakan bahwa negara tetap memiliki andil. Keterikatan Indonesia di dalam TRIPS juga kemudian menjadi dasar pembentukan undang-undang tentang hak cipta yang telah diubah sebanyak tiga kali dan saat ini direncanakan untuk diperbarui lagi.

Berdasarkan pembicaraan yang ada, saya menangkap pesan bahwa para peserta diskusi setuju untuk memandang konsep hak cipta adalah sesuatu yang ‘eksklusif’, karena pencipta akan langsung memperoleh hak cipta tanpa perlu mendaftarkan ciptaan dan pemegang hak cipta memiliki hak moral maupun hak ekonomi atas hak cipta yang dimiliki. Namun, berbeda dengan para pendukung perlindungan hak kekayaan intelektual, khususnya hak cipta, Bapak Onno W. Purbo berpendapat bahwa membuka ciptaan kita seluas-luasnya kepada publik tidak berarti kita kehilangan pendapatan dan penghargaan atas ciptaan.

Dengan menyebarluaskan materi yang pernah beliau buat, maka ada banyak orang yang mengetahui materi tersebut. Apabila terdapat kecurangan seperti plagiarisme, mereka yang mengetahui akan menjadi ‘pelindung’ hak cipta atas materi yang disebarluaskan tersebut. Beliau juga berpendapat tidak perlu khawatir mengenai pendapatan, karena, berdasarkan pengalaman beliau, rasa ingin berbagi yang beliau miliki ternyata mendatangkan berkah ekonomis tersendiri. Pada akhirnya, beliau menyarankan agar setiap pihak yang ingin berbagi ciptaan, gunakanlah lisensi seperti lisensi CC. Berdasarkan kesimpulan yang saya tarik, lisensi CC adalah bentuk perlindungan bagi setiap pemilik hak cipta yang memiliki keinginan untuk berbagi, agar pengguna tetap bertindak sesuai kondisi yang ditentukan dan pemilik hak cipta tetap dihargai.